Sepanjang hariku denganmu, bahagia ini
membentuk deret trigonometri yang tak kupahami rasionya—yang kutau makin hari
makin bahagia. Lengkung kurva di bibirmu selalu simetris, selalu sempurna untuk
dapat menjatuhkan hatiku lagi dan lagi. Aku mencintaimu dengan cara yang kadang
sederhana dan kadang rumit—seperti matematika, aku selalu ingin dapat
memahaminya, aku selalu ingin dapat memahamimu.
Kau tiba tiba tertawa, saat ku bilang
ingin menulis puisi dengan matematika. “Matematika terlalu eksak untuk jadi
puisi” katamu sembari berlalu. Aku tersenyum, aku bilang ada banyak bilangan
magis yang romantisnya melebihi hujan di senja hari yang kita sukai berdua. Aku
bilang kita adalah Amicable number, bilangan yang bagiku paling romantis
sepanjang aku tau Matematika. Kau menggeleng, kau bilang aku menyukaimu tapi
tidak dengan matematika mu, kau bahkan tak bertanya mengapa Amicable number ku
analogikan untuk hubungan ku denganmu. Kau menyebalkan—tapi aku tetap
menyukaimu.
Hari itu kau mengeluh tentang soal
Matematika untuk kuliahmu. Kau bilang kenapa Matematika selalu meminta di
pecahkan soalnya, kenapa Matematika selalu rumit pengerjaan nya. Matematika
selalu menyebalkan katamu. Aku tersenyum, aku jadi berpikir bagaimana mungkin
kau menyukai ku tanpa menyukai Matematika ? aku duduk tepat di sampingmu,
dengan jarak yang limit nya mendekati nol. Aku mulai mengerjakan soal yang kau
bilang menyebalkan itu. “Kau tau ? aku selalu menyukaimu bahkan saat kau
menyebalkan sekalipun, kau tak bisa lakukan itu untuk Matematika ? menyebalkan
tapi tetap kau sukai ?” kau mengernyitkan dahi dan mengangkat alis kirimu, “Kau
dan Matematika adalah dua hal yang berbeda, rasaku terpisah untuk itu”. Kau
lucu Fiii, aku jadi ingin mengajakmu mencintai Matematika seperti kau
mencintaiku—aku berhasil tidak ya ? aku hanya tersenyum untuk ide yang mungkin
akan kau tertawakan jika kau mengetahuinya.
Aku berhasil menemukan solusi untuk
soal matematikamu—kau tau Fii ? matematika tak memintamu memecahkan soalnya,
matematika sedang mengajarimu arti bahwa setiap persoalan selalu memiliki
solusi.
Hari
ini kita berjanji melewati hari bersama, aku menunggumu di kursi taman tempat
kita memandang senja tiap sabtu. Kau tak datang—ah memang ! ini ketiga kalinya
janji mu jadi imaginer—kau membuat penantianku jadi himpunan kosong. Aku kembali,
berjalan linear menjauh dari tempatku menunggu mu sepanjang 3 jam lalu. Awan
abu abu mendiferensial kan rintik air di langit kota pukul 16.00, basah—pipiku
jadi basah—karnamu dan karna hujan, airnya berpadu jadi satu, menetes di
sepanjang jalanku—dingin Fii.
Premis premis di kepalaku mulai
berjalan di orbitnya masing masing, ini lebih dari lima premis Fii, aku tak
bisa menarik kesimpulannya dengan hukum logika yang ku pelajari di matematika
dasar semester lalu—kau kemana ? kau kenapa ?
Aku menemukan mu duduk di bangku taman
lain dekat rumah—ah aku jadi berpikir kenapa harus ada lebih dari satu taman di
kota ini ? kalau saja taman hanya satu aku mungkin menemukanmu sedari tadi. Di
sampingmu ada perempuan dengan rambut ikal yang melebihi bahu, kulitnya putih,
bibirnya tipis merah jambu, kau tertawa dengannya—kau menikmati harimu dengan
perempuan dan membiarkanku menunggu 3 jam di tempat lain ?
Ada premis baru yang muncul di
kepalaku, kali ini ada konklusinya—meski aku tak tau nilai kebenarannya. Kau
mungkin ingin mengakhirinya dengan cara yang berbeda. Ah memang, bagaimana bisa
kau menyukaiku tanpa menyukai Matematika ?
EmoticonEmoticon