Unknown
Unknown › Cerpen

on Kamis, 19 Mei 2016

Matematika, Cinta dan Kamu



Sepanjang hariku denganmu, bahagia ini membentuk deret trigonometri yang tak kupahami rasionya—yang kutau makin hari makin bahagia. Lengkung kurva di bibirmu selalu simetris, selalu sempurna untuk dapat menjatuhkan hatiku lagi dan lagi. Aku mencintaimu dengan cara yang kadang sederhana dan kadang rumit—seperti matematika, aku selalu ingin dapat memahaminya, aku selalu ingin dapat memahamimu.
Kau tiba tiba tertawa, saat ku bilang ingin menulis puisi dengan matematika. “Matematika terlalu eksak untuk jadi puisi” katamu sembari berlalu. Aku tersenyum, aku bilang ada banyak bilangan magis yang romantisnya melebihi hujan di senja hari yang kita sukai berdua. Aku bilang kita adalah Amicable number, bilangan yang bagiku paling romantis sepanjang aku tau Matematika. Kau menggeleng, kau bilang aku menyukaimu tapi tidak dengan matematika mu, kau bahkan tak bertanya mengapa Amicable number ku analogikan untuk hubungan ku denganmu. Kau menyebalkan—tapi aku tetap menyukaimu.
Hari itu kau mengeluh tentang soal Matematika untuk kuliahmu. Kau bilang kenapa Matematika selalu meminta di pecahkan soalnya, kenapa Matematika selalu rumit pengerjaan nya. Matematika selalu menyebalkan katamu. Aku tersenyum, aku jadi berpikir bagaimana mungkin kau menyukai ku tanpa menyukai Matematika ? aku duduk tepat di sampingmu, dengan jarak yang limit nya mendekati nol. Aku mulai mengerjakan soal yang kau bilang menyebalkan itu. “Kau tau ? aku selalu menyukaimu bahkan saat kau menyebalkan sekalipun, kau tak bisa lakukan itu untuk Matematika ? menyebalkan tapi tetap kau sukai ?” kau mengernyitkan dahi dan mengangkat alis kirimu, “Kau dan Matematika adalah dua hal yang berbeda, rasaku terpisah untuk itu”. Kau lucu Fiii, aku jadi ingin mengajakmu mencintai Matematika seperti kau mencintaiku—aku berhasil tidak ya ? aku hanya tersenyum untuk ide yang mungkin akan kau tertawakan jika kau mengetahuinya.
Aku berhasil menemukan solusi untuk soal matematikamu—kau tau Fii ? matematika tak memintamu memecahkan soalnya, matematika sedang mengajarimu arti bahwa setiap persoalan selalu memiliki solusi.
Hari ini kita berjanji melewati hari bersama, aku menunggumu di kursi taman tempat kita memandang senja tiap sabtu. Kau tak datang—ah memang ! ini ketiga kalinya janji mu jadi imaginer—kau membuat penantianku jadi himpunan kosong. Aku kembali, berjalan linear menjauh dari tempatku menunggu mu sepanjang 3 jam lalu. Awan abu abu mendiferensial kan rintik air di langit kota pukul 16.00, basah—pipiku jadi basah—karnamu dan karna hujan, airnya berpadu jadi satu, menetes di sepanjang jalanku—dingin Fii.
Premis premis di kepalaku mulai berjalan di orbitnya masing masing, ini lebih dari lima premis Fii, aku tak bisa menarik kesimpulannya dengan hukum logika yang ku pelajari di matematika dasar semester lalu—kau kemana ? kau kenapa ?
Aku menemukan mu duduk di bangku taman lain dekat rumah—ah aku jadi berpikir kenapa harus ada lebih dari satu taman di kota ini ? kalau saja taman hanya satu aku mungkin menemukanmu sedari tadi. Di sampingmu ada perempuan dengan rambut ikal yang melebihi bahu, kulitnya putih, bibirnya tipis merah jambu, kau tertawa dengannya—kau menikmati harimu dengan perempuan dan membiarkanku menunggu 3 jam di tempat lain ?
Ada premis baru yang muncul di kepalaku, kali ini ada konklusinya—meski aku tak tau nilai kebenarannya. Kau mungkin ingin mengakhirinya dengan cara yang berbeda. Ah memang, bagaimana bisa kau menyukaiku tanpa menyukai Matematika ?